Rabu, 29 Februari 2012

FARMAKOLOGI


 LAPORAN HASIL PENGAMATAN
STIMULASI SISTEM SARAF PUSAT DAN ANTIEPILEPTIKA

A.  TUJUAN
  1. Mengerti dan memahami manifestasi stimulasi sistem saraf pusat secara berlebihan pada mahluk hidup.
  2. Memperoleh gambaran bagaimana manifestasi stimulasi berlebih itu dapat diatasi.
  3. Sanggup mendiagnosa sebab kematian hewan coba.

B.  DASAR TEORI
Obat yang bekerja pada susunan saraf pusat memperlihatkan efek yang sangat luas. Obat tersebut mungkin merangsang atau menghambat aktivitas susunan saraf pusat secara spesifik atau secara umum. Alkohol adalah penghambat susunan saraf pusat tetapi dapat memperlihatkan efek perangsangan, sebaliknya perangsangan susunan saraf pusat dosis besar selalu disertai depresi pasca perangsangan. Obat yang efek utamanya terhadap susunan saraf pusat yaitu:
1. Stimulan susunan saraf pusat.
Perangsangan sistem saraf pusat oleh obat pada umumnya melalui dua mekanisme yaitu mengadakan blokade sistem penghambatan dan meninggikan perangsangan sinaps. Dalam sistem saraf pusat dikenal sistem penghambatan pasca sinaps dan penghambatan prasinaps. Striknin merupakan prototip obat yang mengadakan blokade selektif terhadap sistem penghambatan pasca sinaps sedangkan pikrotoksin mengadakan blokade terhadap sisitem penghambatan prasinaps dan kedua obat ini penting dalam bidang penilitian untuk mempelajari berbagai macam jenis reseptor dan antagonisnya. Analeptik lain tidak berpengaruh terhadap sistem penghambatan dan mungkin bekerja dengan meninggikan perangsangan sinaps.
Perangsangan nafas ada beberapa mekanisme faalan yang dapat merangsang nafas, yaitu perangsangan langsung pada pusat nafas baik oleh obat atau karena adanya perubahan pH darah, perangsangan dari impuls sensorik yang berasal dari kemoreseptor di badan karotis, perangasangan dari impuls aferen terhadap pusat nafas misalnya impuls yang datang dari tendo dan sendi, dan pengaturan dari pusat yang lebih tinggi.
Perangsangan vasomotor belum ada obat yang selektif dapat merangsang pusat vasomotor. Bagian ini ikut terangsang bila ada rangsangan pada medula oblongata oleh obat perangsang nafas dan analeptik.
Perangsangan pusat muntah beberapa obat secara selektif dapat merangsang pusat muntah melalui chemoreceptor trigger zone (CTZ) di medula oblongata, misalnya apomorfin.

2. Antikonvulsi atau antiepileptika
Antikonvulsi digunakan terutama untuk mencegah dan mengobati bangkitan epilepsi. Golongan obat ini lebih tepat dinamakan antiepilepsi sebab obat ini jarang digunakan untuk gejala konfulsi penyakit lain. Epilepsi adalah nama umum sekelompok gangguan atau penyakit susunan saraf pusat yang timbul spontan dengan episode singkat, dengan gejala utama kesadaran menurun sampai hilang. Bangkitan ini biasanya disertai kejang (konvulsi), hiperaktifitas otonomik, gangguan sensorik atau psikis dan selalu disertai gambaran letupan EEG abnormal dan ekasesif. Berdasarkan gambaran EEG, epilepsi dapat dinamakan distritmia serebral yang bersifat paroksismal.  
Pada dasarnya epilepsi dapat dibagi menjadi 3 golongan yaitu :
I. Bangkitan umum (epilepsi umum) yang terdiri dari :
1.     Bangkitan tonik klonik (epilepsi grand mal)
2.    a. Bangkitan iena (epilepsi petit mal atau absences)
b. Bangkitan lena tidak khas (atypical absences)
3. Bangkitan mioklonik (epilepsi mioklonik)
          4. Bangkitan klonik
          5. Bangkitan tonik
          6. Bangkitan atonik
          7. Bangkitan infantil (spasme infantil)
II. Bangkitan parsial atau fokal atau lokal (epilepsi parsial atau fokal)
1.     Bangkitan parsial sederhana
2.    Bangkitan parsial kompleks
3.    Bangkitan parsial yang berkembang menjadi bangkitan umum misalnya bangkitan tonik klonik, bangkitan tonik atau bangkitan klonik saja.
Epilepsi psikomotor atau epilepsi lobus temporalis merupakan bangkitan parsial kompleks atau bangkitan parsial yang berkembang menjadi epilepsi umum bila fokusnya terletak dilobus temporalis anterior.
III. Bangkitan lain-lain (tidak termasuk golongan I atau II) 
Mekanisme terjadinya bangkitan epilepsi:
Pada fokus epilepsi dikorteks  serebri terjadi letupan yang timbul kadang-kadang, secara tiba-tiba, berlebihan dan cepat; letupan ini menjadi bangkitan umum bila neuron normal disekitarnya terkena pengaruh letupan tersebut. Konsep ini masih tetap dianut dengan beberapa perubahan kecil. Adanya letupan depolarisasi abnormal yang menjadi dasar diagnosis diferensial epilepsi memang dapat dibuktikan. Fokus epilepsi dapat tetap tenang selama masa yang cukup panjang, sehingga tidak timbul gejala apapun; tetapi dalam masa tenang pun dengan EEG, akan terekam letupan listrik yang bersifat intermiten. Sekalipun letupan depolarisasi yang menyebabkan bangkitan dapat terjadi spontan, berbagai perubahan fisiologis dapat menjadi pencetus letupan depolarisasi. Penjalaran letupan depolarisasi keluar daerah fokus, biasanya dihambat oleh mekanisme inhibisi normal, tetapi perjalanan ini dapat diperlancar dengan perubahan fisiologis.

Mekanisme kerja antiepilepsi:
Terdapat 2 mekanisme antikonvulsi yang penting yaitu dengan mencegah timbulnya letupan depolarisasi eksesif pada neuron epileptik dalam fokus epilepsi, dengan mencegah terjadinya letupan depolarisasi pada neuron normal akibat pengaruh dari fokus epilepsi. Bagian terbesar antiepilepsi yang dikenal termasuk golongan terakhir ini.
Mekanisme kerja antiepilepsi hanya sedikit yang dimengerti secara baik. Berbagai obat antiepilepsi diketahui mempengaruhi berbagai fungsi neurufisiologik otak, terutama yang mempengaruhi sistem inhibisi yang melibatkan GABA dalam mekanisme kerja berbagai antiepilepsi.

DIAZEPAM
Diazepam adalah obat anti cemas dari golongan benzodiazepin, satu golongan dengan alprazolam (Xanax), klonazepam, lorazepam, flurazepam, dll.
Diazepam dan benzodiazepin lainnya bekerja dengan meningkatkan efek GABA (gamma aminobutyric acid) di otak. GABA adalah neurotransmitter (suatu senyawa yang digunakan oleh sel saraf untuk saling berkomunikasi) yang menghambat aktifitas di otak. Diyakini bahwa aktifitas otak yang berlebihan dapat menyebabkan kecemasan dan gangguan jiwa lainnya.Diazepam tidak boleh dijual bebas, tetapi harus melalui resep dokter.
Diazepam terutama digunakan untuk terapi konvulsi rekuren, misalnya status epileptikus. Obat ini juga bermanfaat untuk terapi bangkitan parsial sederhana misalnya bangkitan klonik fokal dan hipsaritmia yang refrakter terhadap terapi lazim. Diazepam dapat efektif pada bangkitan lena karena menekan 3 gelombang paku dan ombak yang terjadi dalam 1 detik.
Untuk mengatasi bangkitan status epileptikus, disuntikkan 5-20 mg diazepam IV secara lambat. Dosis ini dapat diulang seperlunya dengan tenggang waktu 15-20 menit sampai beberapa jam. Diazepam dapat mengendalikan 80-90 % pasien bangkitan rekuren.   
Efek samping diazepam yang paling sering adalah mengantuk, lelah, dan ataksia (kehilangan keseimbangan). Walaupun jarang, diazepam dapat menyebabkan reaksi paradoksikal, kejang otot, kurang tidur, dan mudah tersinggung. Bingung, depresi, gangguan berbicara, dan penglihatan ganda juga merupakan efek yang jarang dari diazepam. Efek samping obat ini berat dan berbahaya yang menyertai penggunaan diazepam IV ialah obstruksi saluran nafas oleh lidah, akibat relaksasi otot. Disamping ini dapat terjadi depresi nafas sampai henti nafas, hipotensi , henti jantung, dan kantuk.
Diazepam dapat menyebabkan ketergantungan, terutama jika digunakan dalam dosis tinggi dan dalam jangka waktu lama. Pada orang yang mempunyai ketergantungan terhadap diazepam, penghentian diazepam secara tiba-tiba dapat menimbulkan sakau (sulit tidur, sakit kepala, mual, muntah, rasa melayang, berkeringat, cemas, atau lelah). Bahkan pada kasus yang lebih berat, dapat timbul kejang.
Oleh karena itu, setelah penggunaan yang lama, diazepam sebaiknya dihentikan secara bertahap, dan sebaiknya di bawah pengawasan dokter.

AMINOPHYILIN
Aminophylin adalah derivat dari teofilin biasa disebut denga teofilin etilenadiamina. Aminophylin biasanya digunakan melalui injeksi, tersedia dalam ampul 10 ml mengandung 250 mg dan ampul 20 ml mengandung 500 mg. Kejang lokal atau umum karena obat ini biasanya dapat diatasi dengan diazepam.
Injeksi aminophylin meningkatkan kardiakoutput sekitar 35 % dalam waktu 15 menit dan peningkatan filtrasi glomerolus.
Farmakodinamik obat ini menyebabkan relaksasi otot polos, terutama otot polos bronkus, merangsang SSP, otot jantung, dan meningkatkan diuresis.
Farmakokinetik sediaan ini menimbulkan keluhan nyeri pada saluran cerna, mual dan muntah. Gejala ini berhubungan dengan kadar aminophylin dalam plasma. Keluhan saluran cerna yang disebabkan oleh iritasi setempat dapat dihindarkan dengan pemberian obat bersama makanan, tetapi akan terjadi penurunan absorbsi.
Indikasi aminophylin penyakit kardiovaskuler, asma, bronkopneumonia, bronkitis, udem, antianginapektoris.
  
C.  ALAT dan BAHAN
Alat:
  1. Timbangan
  2. Sangku nasi
  3. Spet dan jarum suntik
  4. Stopwatch

Bahan:
  1. 2 ekor mencit
  2. Diazepam
  3. Aminophylin

D.  PROSEDUR KERJA
Perlakuan pada Mencit Kontrol:
  1. Ditimbang mencit I dan dicatat beratnya.
  2. Dihitung VAO dari mencit tersebut.
  3. Mencit I (kontrol) disuntikkan secara IP dengan dosis obat aminophylin 200 mg/kgBB.
  4. Diamati tingkah laku mencit I.

Perlakuan pada Mencit yang Terlebih Dahulu Diberi Antiepileptika:
1.     Ditimbang mencit II dan dicatat beratnya.
2.    Dihitung VAO dari mencit tersebut.
3.    Mencit II disuntikkan secara IP dengan dosis obat diazepam 20 mg.
4.    Setelah 20 menit disuntikkan aminophylin 200 mg/kgBB secara IP.
5.    Diamati tingkah lakunya dan diperhatikan kejang yang ditimbulkan oleh aminophylin dan yang ditahan oleh diazepam.


E.  HASIL PENGAMATAN
Data Pengamatan:
*     Berat sangku nasi = 65,5 gram
*     Berat mencit I + sangku nasi = 95,5 gram
Berat mencit I = 30 gram = 0,03 kg
*     Berat mencit II + sangku nasi = 91,5 gram
Berat mencit II = 26 gram = 0,026 kg
*     Konsentrasi aminophylin = 24 mg/ml
*     Konsentrasi diazepam = 5 mg/ml
*     Dosis aminophylin = 200 mg/kg
*     Dosis diazepam = 20 mg/kg
*     VAO mencit I (kontrol) = 0,03 kg x 200 mg/kg = 0,25 ml
24 mg/ml

*     VAO mencit II (Diazepam) = 0,026 kg x 20 mg/kg = 0,104 ml
     5 mg/ml 
(Aminophylin) = 0,026 kg x 200 mg/kg = 0,217 ml
24 mg/ml

Dosis Aminophylin 200 mg/kgBB pada mencit I (kontrol)
No.
Menit
Pengamatan
1
2
Pernapasan cepat
2
3
Terjadi kejang parsial
3
6
Mencit mulai mengangkat kaki
4
9
Aktivitas berkurang

Sebagai perbandingan: Dosis Aminophylin 300 mg/kgBB pada mencit I (kontrol) untuk kelompok 4,5 dan 6 pada menit ke 9 mencit mati.
Dosis Diazepam 20 mg pada mencit II, setelah 20 menit diberikan aminophylin 200 mg/kgBB.
No.
Menit
Pengamatan
1
1
Kejang parsial kaki belakang.
2
3
Kejang semakin parah, lalu mencit mati.


F.  PEMBAHASAN
Pada praktikum kali ini, kami melakukan percobaan tentang stimulasi sistem saraf pusat dan antiepileptika dengan menggunakan obat diazepam dan aminophylin. Pada mencit I (kontrol) setelah diberikan aminophylin 200 mg/kgBB yang disuntikkan secara intraperitonial (IP) mencit tidak kehilangan kesadaran hanya menunjukkan aktivitas abnormal dari bagian badan atau kelompok otot tertentu seperti pernapasannya cepat, kaki kejang yang biasa disebut dengan kejang parsial. Kejang parsial ini tidak menimbulkan kematian karena kejang yang terjadi hanya tremor saja. Aminophylin bersifat menstimulasi sistem saraf pusat, sampai batas-batas tertentu sifat ini dapat diterapakan untuk mengatasi depresi sisitem saraf pusat yang berlebihan  pada   penyakit kardiovaskuler, asma, bronkopneumonia, bronkitis, udem, antianginapektoris.
Pemberian aminophylin dalam dosis tinggi dapat menyebabkan kejang baik kejang parsial maupun kejang tonik klonik yang pada akhirnya dapat menyebabkan kematian.
Pemberian diazepam merupakan relaksan otot yang bekerja sentral khususnya refleks polisinaptik disumsum tulang belakang dan mengurangi aktivitas neuron sistem retikular dimesenfalon, dan juga dapat digunakan untuk mengatasi kejang.
Pada mencit II disuntikkan diazepam 20 mg secara intraperitoneal, karena diazepam pada injeksi ini memiliki on set of action selama 20 menit. Setelah 20 menit diberikan aminophylin 200 mg/kgBB secara IP, pada menit pertama mencit mengalami kejang parsial pada kaki belakang dan 2 menit kemudian mencitnya mengalami kematian. Hal ini terjadi karena kesalahan penyuntikan, kemungkinan pada saat penyuntikan terlalu dalam atau pada posisi yang salah sehingga terkena organ dalam pada mencit tersebut. Hal ini dapat kami simpulkan karena dapat dilihat pada kontrol, mencitnya tidak mengalami kematian.
Akan tetapi pada mencit kontrol yang lain yang diberikan aminophylin 300 mg/kgBB, setelah menit ke 9 mencitnya mengalami kematian. Kematian dapat terjadi karena diawali kejang parsial yang lama kelamaan terjadi kejang tonik klonik (grand mal) yang meliputi keseluruhan otot rangka termasuk otot pernapasan yang berlangsung lama sehingga kematian dapat terjadi akibat tidak bisa bernapas.

G. KESIMPULAN
          Berdasarkan hasil pengamatan dan pembahasan, kami dapat menyimpulkan bahwa:
  1. Pada mencit I (kontrol) hanya terjadi kejang parsial sehingga tidak menimbulkan kematian pada mencit tersebut.
  2. Pada mencit II diawali dengan kejang parsial pada kaki belakang dan setelah 2 menit kemudian mengalami kematian.



DAFTAR PUSTAKA

Tim Dosen Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2005. Farmakologi dan Terapi. Jakarta: Gaya Baru.

Tjay, Tan Hoan dan Kirana Rahardja. 2003. Obat-Obat Penting. Jakarta: Elex Media Komputindo.





Selasa, 28 Februari 2012

BIOFARMASETIKA DAN FARMAKOKINETIKA


LAPORAN HASIL PERCOBAAN
BIOADHESIF

1. Tujuan
Tujuan dari praktikum kali ini adalah:
  1. Untuk menguji kemampuan mukoadhesif suatu granul yang mengandung polimer tertentu.
  2. Untuk mengetahui perbedaan bioadhesif dari suatu granul yang berpolimer dengan granul tanpa polimer.

II. Dasar Teori
Sistem Penghantaran Mukoadhesif
Bioadhesif adalah keadaan dimana dua bahan, salah satunya bersifat biologis yang saling melekat untuk waktu yang lebih lama karena forsa interfasial. Bioadhesif juga dapat didefinisikan sebagai kemampuan suatu bahan (hasil sintesis atau produk biologi) teradhesi pada suatu jaringan biologi untuk periode waktu yang lebih lama. Di dalam sistem biologi, bioadhesif dapat dibedakan menjadi 2 jenis, yaitu: adhesi dari suatu sel normal terhadap sel patologi dan adhesi dari suatu bahan adhesi terhadap suatu substrat biologis.
Untuk tujuan penghantaran obat, terminologi bioadhesif bermakna terikatnya sistem pembawa obat pada lokasi spesifik biologi. Permukaan biologi tersebut dapat berupa jaringan epitel atau dapat berupa lapisan penutup mukus yang terdapat pada permukaan jaringan. Jika keterikatan tersebut pada permukaan mukus, fenomena ini dikenal dengan mukoadhesif. Mukoadhesif dapat pula berupa interaksi antara suatu permukaan musin dengan suatu polimer sintetik atau polimer alam. Sediaan mukoadhesif ini memanfaatkan sifat bioadhesif dari berbagai polimer larut air, yang akan menunjukkan sifat adhesif pada waktu terjadi hidrasi, kemudian akan menghantarkan obat mencapai sasaran tertentu untuk waktu yang lebih lama dibandingkan sediaan konvensional.
Sistem penghantaran obat mukoadhesif ini dapat dimanfaatkan untuk mengembangkan sediaan bukal, sublingual, vaginal, rektal, nasal, okular, serta gastrointestinal. Prinsip penghantaran obat dengan sistem mukoadesif adalah memperpanjang waktu tinggal obat pada organ tubuh yang mempunyai lapisan mukosa. Sistem mukoadhesif akan dapat meningkatkan kontak yang lebih baik anatara sediaan dengan jaringan tempat terjadinya absorpsi sehingga konsentrasi obat terabsopsi lebih banyak dan diharapkan akan terjadi aliran obat yang tinggi melalui jaringan tersebut.
Penggunaan formulasi mukoadhesif oral dapat dicapai dengan meningkatkan lamanya waktu tinggal obat dalam saluran cerna. Akan tetapi, beberapa faktor fisiologi dapat membatasi penggunaan sistem pemberian ini, diantaranya adalah:
  1. Absorpsi obat di saluran cerna dipengaruhi oleh motilitas lambung dan usus. Motilitas lambung yang kuat akan menjadi satu gaya yang dapat melepaskan adhesif.
  2. Kecepatan penggantian musin baik pada keadaan lambung kosong maupun penuh dapat membatasi waktu tinggal sediaan mukoadhesif karena jika mukus lepas dari membran, polimer bioadhesif tidak dapat menempel lebih lama.
  3. Adanya penyakit yang dapat merubah sifat-sifat fisikokimia dari mukus.
Meskipun demikian semua permasalahan dapat dihindari dengan menggunakan polimer yang sesuai atau dengan menggabungkan bahan-bahan tertentu pada bentuk sediaan.
Mukus mengandung musin yang berupa rantai oligosakarida dengan pKa 2,6. Bio (muko) adhesif polimer adalah natural atau sintetik polimer yang menghasilkan interaksi dengan membran biologi.

Biopolimer Pada Sediaan Lepas Lambat
Produk konvensional controlled-release untuk sediaan oral menargetkan pada tempat spesifik pada saluran pencernaan. Waktu pelepasan obat dari pembawa dapat mencapai 6-8 jam pada usus. Laju disolusi pada formulasi dapat dikontrol dan waktu paruh untuk mencapai konsentrasi terapi dapat diperpanjang sehingga sediaan dalam bentuk ini cukup diberikan sekali atau dua kali sehari. Formulasi yang dilengkapi dengan biopolimer dapat mengontrol pelepasan obat dalam saluran pencernaan. Produk obat dengan salut enterik juga dapat meminimalkan pelepasan obat pada lambung dan usus halus. Mekanisme pelepasan obat dari pembawa yang berupa sistem polimer meliputi:
  1. Difusi
  2. Erosi polimer
  3. Degradasi mikroba dan
  4. Degradasi enzim
Tujuan utama dari suatu produk obat pelepasan terkendali adalah untuk mencapai suatu efek terapeutik yang diperpanjang di samping memperkecil efek samping yang tidak diinginkan yang disebabkan oleh fluktuasi kadar obat dalam plasma. Secara ideal, produk obat pelepasan terkendali hendaknya melepaskan obat pada suatu laju yang konstan, atau laju orde nol. Setelah lepas dari produk obat, obat secara cepat diabsorpsi dan laju absorpsi akan mengikuti kinetika orde nol yang sama dengan suatu infusi obat secara intravena.
Walaupun rancangan suatu produk obet pelepasan terkendali yang berperilaku ideal adalah rumit, bentuk sediaan ini menawarkan beberapa keuntungan yang penting atas pelepasan bentuk sediaan yang segera dari obat yang sama, yaitu:
1.      Memungkinkan untuk mempertahankan kadar obat terapeutik dalam darah, yang akan memberikan respon klinik yang diperpanjang dan konsisten pada penderita.
2.     Untuk kemudahan penderita, dan mengarahkan pada kepatuhan penderita yang lebih baik. Sebagai contoh, jika penderita hanya perlu minum obat sekali sehari, maka ia tidak harus mengingat-ingat dosis tambahan pada waktu-waktu tertentu selama hari itu.
3.      Karena jarak pemberian dosis lebih panjang, maka kebutuhan tidur penderita tidak terganggu.
4.      Untuk penderita dalam perawatan, biaya dari waktu perawatan yang diperlukan untuk menggunakan obat menurun jika kepada penderita hanya diberikan satu dosis obat setiap hari.
Pada penggunaan obat pelepasan terkendali juga ada sejumlah kerugian, yaitu:
1.      Jika penderita mendapat suatu reaksi samping obat atau secara tiba-tiba mengalami keracunan, maka menghilangkan obat dari sistem menjadi lebih sulit daripada dengan suatu produk obat pelepasan cepat.
2.      Karena produk obat pelepasan terkendali dapat mengandung tiga kali atau lebih dari dosis yang diberikan dalam jarak waktu yang lebih sering, maka ukuran produk obat pelepasan terkendali akan menjadi besar, dan terlalu besar untuk ditelan secara mudah oleh penderita.

Lambung
Lambung merupakan suatu organ ”pencampur dan pensekresi” dimana makanan dicampur dengan cairan cerna dan secara periodik dikosongkan ke dalam usus halus. Akan tetapi gerakan makanan dan produk obat dalam lambung dan usus halus sangat berbeda tergantung pada keadaan fisiologik. Dengan adanya makanan lambung melakukan fase ”digestive”, dan tanpa adanya makanan lambung melakukan fase ”interdigestive”. Selama fase ”digestive” partikel-partikel makanan atau partikel-partikel padat yang lebih besar dari 2 mm ditahan dalam lambung, sedangkan partikel-partikel yang lebih kecil dikosongkan melalui ”sphincter” pilorik pada suatu laju order kesatu yang tergantung pada isi dan ukuran dari makanan. Selama fase ”interdigestive” lambung istirahat selama 30-40 menit sesuai dengan waktu istirahat yang sama dalam usus halus. Kemudian terjadi kontraksi peristaltik, yang diakhiri dengan ”housekeeper contraction” yang kuat yang memindahkan segala sesuatu yang ada dalam lambung ke usus halus. Dengan cara yang sama, partikel-partikel besar dalam usus halus akan berpindah hanya selama waktu ”housekeeper contraction”.
Bahan-bahan berlemak, makanan dan osmolalitas dapat memperpanjang waktu tinggal dalam lambung. Pelarutan obat dalam lambung juga dapat dipengaruhi oleh ada atau tidak adanya makanan. Waktu tinggal dalam lambung yang lebih panjang, obat dapat terkena pengadukan yang lebih kuat dalam lingkungan asam.

Gelatin
Gelatin adalah protein yang diperoleh dari bahan kolagen. Sedangkan menurut excipients, gelatin adalah campuran protein alami yang didapatkan dari bagian asam hidrolisis (gelatin tipe A) atau bagian basa hidrolisis (gelatin tipe B) dan kolagen. Gelatin tipe A memiliki pH 3,8-6 sedang gelatin tipe B memiliki pH 5,0-7,4. Gelatin memiliki berat molekul 15.000 – 250.000. Dengan pemerian berupa serbuk, lembaran, kepingan, atau butiran yang tidak berwarna atau berwarna kuning pucat serta bau dan rasa yang lemah. Jika gelatin direndam dalam air akan mengembang dan menjadi lunak, secara berangsur-angsur juga dapat menyerap air 5-10 kali bobotnya. Gelatin mudah larut dalam air panas dan jika didinginkan terbentuk gudir, praktis tidak larut dalam etanol, kloroform, dan eter namun dapat larut dalam campuran gliserol dan air terutama jika dipanaskan.
Dalam farmasetik dapat digunakan sebagai zat tambahan seperti, coating agent, gelling agent, suspending agent, pengikat tablet, dan zat peningkat viskositas. Secara luas gelatin digunakan dalam berbagai sediaan farmasi meskipun lebih sering digunakan dalam bentuk kapsul gelatin lunak maupun keras. Kapsul gelatin adalah bentuk unit dosis yang diisi dengan zat aktif dan umumnya didesain untuk sediaan oral. Gelatin sangat sukar larut dalam air dingin, kapsul dari gelatin dapat membuat suatu sediaan terlepas secara perlahan dari pembawanya. Atau dengan kata lain gelatin dapat menghambat laju disolusi dari sediaan tablet maupun kapsul. Selain itu gelatin juga digunakan pada sediaan pasta, supositoria, pembawa pada sediaan injeksi, dan pada produk makanan seperti es krim.
Gelatin dapat bereaksi dengan aldehid, anion, polimer anionik dan kationik, ion logam, pengawet,dan surfaktan, sedangkan dengan alkohol, kloroform, eter, garam merkuri, dan asam tanat dapat membentuk endapan.
 
                 
III. Alat dan Bahan
Alat:
·   Kaca objek
·   Desintegration tester
·   Pinset
·   Lem
·   Pipet
·   Beaker glass
·   Gunting
Bahan:
·   Mukosa lambung mencit
·   NaCl fisiologis
·   Granul polimer (gelatin)
·   Granul non polimer

IV. Prosedur Kerja
Uji Wash Off
1.      Mukosa lambung mencit dibersihkan dan dimasukkan ke dalam NaCl fisiologis.
2.      Mukosa lambung ditempelkan ke kaca objek dengan bagian muka menghadap ke atas dan direkatkan dengan lem.
3.      Granul polimer (gelatin) dan nonpolimer ditempelkan pada masing-masing kaca objek bagian mukosa masing-masing sebanyak 40 granul.
4.      Ditetesi NaCl fisiologis 0.9% diatas granul dan dibiarkan selama 1 menit.
5.      Kaca objek dimasukkan ke dalam disintegration tester pada bagian tabung pengaduk dan alat tersebut dinyalakan pada suhu 370 C, disetting selama 15 menit pertama dan dilanjutkan 15 menit kedua.

 
V. Hasil Pengamatan
Waktu
Jumlah Granul Polimer
Jumlah Granul Non Polimer
15 menit
26 granul
0
30 menit
26 granul
0
           

VI. Pembahasan
Pada praktikum kali ini, kami melakukan percobaan mengenai uji wash off, yang bertujuan menguji kemampuan suatu granul untuk berikatan dengan permukaan mukus lambung yang diisolasi dari mencit. Dalam percobaan kami membandingkan kekuatan ikatan tersebut, yakni antara granul yang berpolimer dengan granul yang non polimer.
Uji wash off yang kami lakukan menggunakan suatu alat yang bernama disintegration tester yang diset pada suhu 370C. Alat ini bekerja dengan gerakan naik turun ke dalam suatu media cairan lambung buatan. Kami melakukan pengamatannya selama 2 kali, yaitu pada 15 menit pertama dan 15 menit kedua. Pada saat pengamatan, kami menghitung jumlah granul berpolimer dan granul non polimer yang tersisa pada mukus lambung, serta membandingkannya.
Berdasarkan hasil pengamatan yang telah kami lakukan, jumlah granul polimer yang tersisa pada 15 menit pertama dan kedua adalah 26 granul, sedangkan pada granul yang non polimer tidak ada yang tersisa, bahkan ketika alat dioperasikan dan tabung yang berisi media cairan lambung buatan bergerak turun, granul non polimer langsung lepas dari mukus.
Hasil ini sebenarnya sesuai dengan teori, tetapi seharusnya granul yang non polimer tidak lepas secepat itu atau tetap membutuhkan waktu yang lebih lama untuk menempel, hal ini kemungkinan dikarenakan mukus lambung mencit sulit dibedakan, sehingga pada saat penempelan granul, bagian mukusnya terbalik dan granulnya tidak menempel dengan sempurna pada mukus lambung mencit.
Pada granul yang berpolimer, dapat menempel lebih lama pada mukus lambung karena adanya ikatan antara musin dengan polimer yang digunakan. Musin lambung mengandung glikoprotein sedangkan polimer gelatin yang digunakan pada granul merupakan  protein, gelatin ini disintesis dari tulang ikan tuna yang kemudian dibuat granul. Karena keduanya sama-sama memiliki gugus –NH2 (amina), maka dapat  berikatan hidrogen, ikatan inilah yang menyebabkan musin lambung dan polimer dapat berikatan sangat kuat dan tidak mudah lepas. Uji wash off ini dapat digunakan sebagai parameter untuk pengujian sediaan lepas terkendali khusus untuk obat yang memang ditujukan pelepasan optimalnya di dalam lambung atau sediaan yang lebih dikenal dengan sediaan mukoadesif.

VII. Kesimpulan
Berdasarkan data hasil pengamatan yang kami peroleh, dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut:
1.      Uji wash off dapat digunakan untuk menguji kemampuan penghantaran bioadhesif dari suatu granul dengan polimer tertentu.
2.      Dengan adanya polimer (gelatin) waktu granul untuk menempel pada mukus lambung mencit lebih lama dibandingkan granul yang tidak berpolimer.
3.      Granul yang berpolimer dapat menempel lebih lama pada mukus karena adanya ikatan hidrogen yang kuat antara musin dengan polimer gelatin.


DAFTAR PUSTAKA

Chien, Yie W. 1992. Novel Drug Delivery Systems. New York: Marcel Dekker, Inc.

Rathbone, Michael J. 2003. Modified Release Drug Delivery Technology. New York: Marcel Dekker, Inc.

Wade, A dan P.J. Weller (ed.). 1986. Handbook of Pharmaceutical Excipients. Pharmaceutical Press London.

Departemen Kesehatan RI. 1979. Farmakope Indonesia, edisi III. Jakarta.